Kamis, 19 Desember 2013
RPP KIMIA Hukum Dasar Kimia dan Konsep Mol
RPP KIMIA KELAS X KURIKULUM 2013 "Hukum Dasar Kimia dan Konsep Mol dapat didownload disini
Rabu, 18 Desember 2013
SILABUS HUKUM DASAR KIMIA DAN KONSEP MOL
Silabus Kimia SMA kurikuum 2013 materi Hukum Dasar Kimia dan Konsep Mol klik disini
Remastersys dan ISO pada Kimux
Cara Remastersys dan ISO pada Kimux
Pada system tools- klik administration- klik remastersys. Setelah muncul kotak dialog pilih customize untuk mengubah tampilan Ubuntu Anda - lalu pilih select. Lalu Pada configure file dalam costumize- ketik Kimux13.10 Live pada LIVECDLABEL. pada COSTUMISO ketik kimux 13.10.iso- klik save- klik main- klik backup. Tunggu sampai semua proses remastersys selesai- klik Oke. Maka Remastersys telah selesai beserta ISO
Memasang Aplikasi di Kimux atau Ubuntu
Petunjuk Memasang Aplikasi di Kimux atau Ubuntu
Cara #1
·Pada Ubuntu di option System Tools, pilih Ubuntu Software Centre atau Synaptic Package Manager. lalu pilih aplikasi yang Anda inginkan.
·Pada Synaptic Package Manager pilih aplikasi yang belum terpasang pada PC Anda yang ditandai dengan icon aplikasi berwarna putih. Klik icon tersebut lalu klik Apply. Tunggu hingga semua proses pemasangan selesai.
Cara #2
·Command Line Interface (CLI) http://repo.unnes.ac.id/dokumen. Lalu search aplikasi yang Anda inginkan
Cara #3
·Pada Ubuntu, di option Utilities klik "Terminal". Pada terminal ketik sudo apt-get install (diikuti nama aplikasi yang Anda ingin pasang), contoh sudo apt-get install avogadro. Lalu masukkan password sesuai password Ubuntu Anda. Klik enter sampai semua terpasang.
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA KELARUTAN TIMBAL BALIK SISTEM BINER FENOL–AIR
KELARUTAN TIMBAL BALIK SISTEM BINER FENOL–AIR
Silvia marceliana, Khusnl
Khotimah
Lab. Kimia Fisika Jurusan
Kimia Universitas Negeri Semarang
Gedung D8 Lt 2 Sekaran
Gunungpati Semarang, Indonesia
silvia.marceliana1412@gmail.com, 085642668343
50229
Abstrak
Praktikum ini dilakukan untuk memperoleh kurva
komposisi sistem fenol-air terhadap suhu pada tekanan tetap dan untuk
menentukan suhu kritis kelarutan timbal balik sistem fenol-air. Sistem biner fenol-air
merupakan sistem yang memperlihatkan kelarutan timbal balik antara fenol dan
air pada temperatur tertentu dan tekanan tetap. Pada praktikum ini digunakan
alat berupa tabung reaksi berdiameter 4 cm, batang pengaduk, termometer raksa,
waterbath, buret dan statif. Bahan yang digunakan adalah fenol dan aquades.
Praktikum ini menggunakan metode titrasi sederhana untuk memperoleh temperatur kritis
kelarutan fenol-air. Variabel terikat yang digunakan adalah temperatur, sedangkan
variabel bebasnya adalah volume air. Kemudian dilakukan pengukuran temperatur
terhadap larutan tersebut. Hasil yang diperoleh seharusnya membentuk parabola
dimana puncak dari parabola tersebut merupakan titik kritis dari kelarutan
fenol-air. Pada praktikum yang dilakukan diperoleh temperatur kritisnya pada
79,5°C dengan komposisi campurannya adalah
fraksi mol fenol 0,1824 dan fraksi mol air 0,8176. Kurva yang diperoleh dari
praktikum ini tidak membentuk parabola melainkan bentuk kurva yang kurang
simetris.
Kata kunci : Fenol-air;Kelarutan timbal balik; Temperatur Kritis
Abstract
This lab is done
to obtain the composition curve for the system phenol- water temperature at a constant
pressure and to determine the critical temperature of reciprocal solubility of
phenol-water system. Phenol-water binary system is a system that shows the
mutual solubility between phenol and water at a given temperature and pressure
remain. At this lab used tool in the form of 4 cm diameter test tube, stir bar,
thermometer mercury, waterbath, burette and stand. Materials used are phenol
and distilled water. This lab uses a simple titration method to obtain the critical
temperature of phenol-water solubility. The dependent variable used is the
temperature, while the independent variable is the volume of water. We measured
the temperature of the solution. The results obtained should form a parabola
where the peak of the parabola is a critical point of the phenol-water
solubility. Conducted on lab obtained critical temperature at 79.5°C with the
composition of the mixture is the mole fraction of phenol 0.1824 and 0.8176
mole fraction of water. Curve obtained from the lab but not form a parabolic curve
shape is less symmetrical.
Keywords : critical temperature; mutual
solubility ; phenol–water
Pendahuluan
Kelarutan adalah kemampuan zat terlarut (solute) untuk dapat larut dalam pelarut (solvent) tertentu. Misalnya etanol di dalam air. Pada umumnya
pelarut merupakan suatu cairan yang berupa zat murni maupun zat campuran.
Sedangkan zat yang terlarut, dapat berupa gas, cairan lain, atau padat.
Kelarutan ini sangat bervariasi dari yang selalu larut seperti etanol dalam
air, hingga yang sukar larut seperti perak klorida dalam air. Dalam beberapa
kondisi, titik kesetimbangan kelarutan dapat dilampaui untuk menghasilkan suatu
larutan yang disebut lewat jenuh yang metastabil (Darmaji, 2005).
Kelarutan timbal balik adalah kelarutan dari suatu larutan yang bercampur
sebagian bila temperaturnya di bawah temperatur kritis. Jika mencapai
temperatur kritis, maka larutan tersebut dapat bercampur sempurna (homogen) dan
jika temperaturnya telah melewati temperatur kritis maka sistem larutan
tersebut akan kembali dalam kondisi bercampur sebagian lagi. Salah satu contoh
dari temperatur timbal balik adalah kelarutan fenol dalam air yang membentuk
kurva parabola yang berdasarkan pada bertambahnya persen fenol dalam setiap
perubahan temperatur baik di bawah temperatur kritis (Sukardjo, 2003).
Jika temperatur dari dalam kelarutan fenol-air dinaikkan diatas 50°C maka komposisi larutan dari sistem larutan tersebut
akan mengalami perubahan. Kandungan denol dalam air untuk lapisan atas akan
bertambah (lebih dari 11,8 %) dan kandungan fenol dari lapisan bawah akan
berkurang (kurang dari 62,6%). Pada saat suhu kelarutan mencapai 66°C maka komposisi sistem larutan tersebut menjadi seimbang
dan akan bercampur sempurna (bercampur seluruhnya). Suatu fase didefinisikan sebagai
bagian sistem yang seragam atau homogen diantara keadaan submakroskopiknya,
tetapi benar-benar terpisah dari bagian sistem yang lain oleh batasan yang
jelas dan baik. Campuran padatan atau cairan yang tidak saling bercampur dapat
membentuk fase terpisah. Sedangkan campuran gas-gas adalah satu fase karena
sistemnya yang homogen. Simbol umum untuk jumlah fase adalah P (Dogra, S. dan Dogra S.K., 2008).
Sistem biner fenol-air merupakan sistem yang memperlihatkan sifat kelarutan
timbal balik antara fenol dan air pada suhu tertentu dan tekanan tetap. Sistem
tersebut disebut sistem biner karena jumlah komponen campuran terdiri dari dua
zat yaitu fenol dan air. Fenol dan air kelarutannya akan berubah, apabila dalam
campuran itu ditambah ka salah satu komponen penyusun yaitu fenol dan air. Jika
komposisi campuran fenol air dilukiskan terhadap suhu akan diperoleh sebuah
kurva sebagai berikut.
L1 adalah fenol dalam air, L2 adalah air dalam fenol,
XA adalah fraksi mol air, XF adalah fraksi mol fenol, Xc
adalah fraksi mol komponen pada suhu kritis (Tc). Pada suhu T1
dengan komposisi diantara A1 dan B1, sistem berada pada
dua fese (keruh). Sedangkan di luar daerah kurva (atau di atas suhu kritisnya,
Tc), sistem berada pada satu fasa (jernih) (Wahyuni, 2003).
Temperatur kritis(Tc) adalah batas atas temperatur dimana
terjadi pemisahan fase. Diatas temperatur batas atas, kedua komponen
benar-benar tercampur. Temperatur ini ada gerakan termal yang lebih besar
menghasilkan kemampuan campur yang lebih besar pada kedua komponen. Dalam hal
ini pada temperatur rendah kedua komponen lebih dapat campur karena
komponen-komponen itu membentuk kompleks yang lemah, pada temperatur lebih
tinggi kompleks itu teruarai dan kedua komponen kurang dapat bercampur (Atkins,
1999).
Setelah melakukan percobaan ini diharapkan dapat : 1) Memperoleh kurva
komposisi sistem fenol-air terhadap suhu pada tekanan tetap, 2) Menentukan suhu
kritis kelarutan timbal balik sistem fenol-air.
Pada percobaan yang dilakukan bahan yang digunakan adalah fenol p.a dan
aquades. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah tabung
reaksipyrex yang berdiameter 4 cm,
botol semprot, pipet tetes, batangpengaduk, gelas kimia pyrex 250 ml, gelas kimiapyrex
100 ml, buret 50 ml, statif, termometer raksa, dan waterbath.
Metode titrasi sederhana digunakan dalam percobaan ini. Fenol yang digunakan diperoleh
dengan cara fenol p.a ditimbang sebanyak 5,1271
gram. Temperatur
ruangandiukur, dilanjutkan dengan rangkaian alatyaitu batang
pengaduk dan termometer dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi fenol.
Selanjutnya peralatan untuk titrasi disiapkan dengan cara buret dipasang pada statif.
Dilanjutkan dengan buret 50 ml diisi dengan aquades dan fenol dititrasi hingga muncul keruh yang pertama kalinya, dan jumlah
aquades yang diperlukan untuk memperoleh kekeruhan fenol yang pertama kali dicatat. Campuran fenol
dengan air tersebut dipanaskan dengan suhu maksimal 90°C, diaduk hingga larutan menjadi jernih kembali,
temperatur larutan saat pertama kali jernih dicatat sebagai T1, lalu
larutan dibuarkan hingga larutan bersuhu T1+ 4°C (Wahyuni, 2013).
Proses selanjutnya larutan diangkat dan didinginkan hingga larutan menjadi
keruh kembali, saat larutan menjadi keruh kembali lalu diukur temperaturrnya
untuk kemudian dicatat sebagai T2. Percobaan dilanjutkan untuk
memperoleh T1 dan T2 lainnya dengan penambahan aquades
yang bervariasi, yaitu 2,9 ml; 3,4 ml; 3,9 ml; 4,4 ml; 4,9 ml; 5,4 ml; 6,9 ml;
7,9 ml; 8,9 ml; 9,9 ml; 10,9 ml; 11,9 ml; 12,9 ml; 13,9 ml. Variabel bebas
dalam praktikum ini adalah fraksi mol masing-masing zat, dan variabel
terikatnya adalah temperatur.
Analisa yang digunakan pada praktikum ini antara lain analisa kualitatif
dan analisa kuantitatif. Analisa kualitatif dapat diartikan sebagai analisa
yang didasarkan atas pengamatan dengan cara penca indra dengan membuktikan ada
tidaknya analit. Sedangkan analisa kuantitatif merupakan anlisa yang didasarkan
pada perhitungan secara matematis, seperti pengukuran perhitungannya antara mil
air dan mol dan mo fenol, serta perhitungan fraksi mol.
Pada praktikum ini dilakukan suatu percampuran dengan komposisi tertentu
yaitu antara fenol dan air. Campuran ini mengalami pemanasan dan pendinginan
pada temperatur kelarutannya masing-masing. Pada campuran antara fenol dan air
ini membentuk dua lapisan atau tidak homogen. Hal ini disebabkan karena air
memiliki massa jenis lebih rendah daripada fenol. Di temperatur tertentu
larutan ini akan bercampur dan akan membentuk dua fasa lagi (menjadi keruh
lagi).
Fenol dan air kelarutannya akan berubah apabila ke dalam campuran itu
ditambah dengan salah satu komponen penyusunnya. Perubahan warna larutan dari
keruh menjadi jernih dan dari jernih menjadi keruh mendakan bahwa zat tersebut
mengalami perubahan kelarutan yang dipengaruhi oleh perubahan temperatur. Pada
praktikum ini komponen yang sitambah adalah air sedangkan jumlah fenolnya
tetap, sehingga perubahan larutan dari jernih menjadi keruh dan dari keruh
menjadi jernih terjadi pada temperatur yang berubah-ubah. Perubahan temperatur
tersebut bergantung pada komposisi atau fraksi mol kedua zat penyusun.
Dari praktikum yang dilakukan dalam percobaan kelarutan timbal balik sistem
biner fenol - air diperoleh data Tc berturut-turut : 67,5°C; 70,5°C; 75,5°C; 79,5°C; 79,5°C; 77,5°C; 76°C; 61°C; 67,5°C; 62°C; 68°C; 66,5°C; 65°C; 63,5°C; 60,5°C.
Tabel 1. Data pengamatan dan analisi
data
Fraksi mol
aquades
|
Fraksi mol fenol
|
Temperatur (°C)
|
0,6593
|
0,3407
|
64
|
0,7471
|
0,2529
|
67,5
|
0,7759
|
0,2241
|
70,5
|
0,7989
|
0,2011
|
75,5
|
0,8176
|
0,1824
|
79,5
|
0,8331
|
0,1669
|
79,5
|
0,8462
|
0,1538
|
77,5
|
0,8573
|
0,1427
|
76
|
0,9098
|
0,0902
|
68
|
0,9174
|
0,0826
|
66,5
|
0,9238
|
0,0762
|
65
|
0,9293
|
0,0707
|
63,5
|
0,9340
|
0,0660
|
60,5
|
Dapat dilihat dari data yang
terdapat dalam Tabel 1 tersebut diperoleh temperatur kritisnya adalah 79,5°C dengan komposisi campurannya adalah fraksi mol fenol
0,1824 dan fraksi mol airnya 0,8176. Hal ini menunjukkan bahwa pada temperatur
79,5°C, komponennya yang berada di
dalam kurva merupakan sistem satu fase. Apabila temperatur dinaikkan maka
kelarutan air dalam fenol akan bertambah, demikian pula kelarutan fenol dalam
air, hal ini sesuai dengan teori hukum tuas.
Komponen akan berada pada satu
fase yaitu disaat campuran dari kedua komponen menjadi larut atau dalam hal ini
menjadi homogen (jernih), sedangkan komponen akan mengalami dua fase ketika
dilakukan penambahan air yang menghasilkan dua lapisan atau menjadi heterogen
(keruh). Pada teori daikatakan bahwa terjadinya kelarutan timbal balik fenol
air akan terjadi jika grafiknya membentuk parabola. Grafik yang terbentuk dari
analisis data ini kurang sempurna, namun sudah mendekati teorikarena bentuknya
masih belum simetris namun hampir membentuk parabola. Untuk memperjelas perbandingan
atau komposisi fraksi mol terhadap temperatur dapat dilihatgrafikny pada gambar
2
Grafik Sistem
Biner Fenol-Air
Pada gambar 2 yang menyatakan grafik hubungan antara fraksi mol dengan
temperatur jelas bentuknya hampir mendekati parabola, namun kurang simetris
atau kurang sempurna. Hal ini terjadi mungkin disebabkan karena beberapa hal.
Seperti kekurangtelitian saat melakukan praktikum, misalnya kurang teliti
membaca skala pada termometer. Kemungkinan kesalahan yang lainnya mungkin
validitas alat yang digunakan, serta kesalahan saat menganalisis data yang
diperoleh dari praktikum.
Setelah dilakukan praktikum ini, ternyata saat fenol yang ditambahkan kedalam air
mempunyai perbandingan komponen fenol tetap sedangkan komponen dari air ini
berbeda-beda (divariasi). Temperatur yang diperoleh akan semakin tinggi yaitu
pada volume larutan paling banyak. Perubahan yang ditunjukkan dari larutan ini
adalah perubahan warna larutan dari keruh menjadi jernih setelah dipanaskan dan
dari jernih menjadi keruh kembali setelah didiamkan. Perubahan warna tersebut
diakibatkan karena zat tersebut mengalami perubahan kelarutan yang dipengaruhi
oleh perubahan temperatur.
Kesimpulan
Dari hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa temperatur kritis untuk
kelarutan fenol dalam air adalah 79,5°C engan
komposisi fraksi mol fenol sebesar 0,8176 dan fraksi mol air sebesar 0,1824. Data
yang diperoleh kurang susuai dengan teori karena bentuk grafiknya yang
diperoleh kurang simetris.
Daftar Pustaka
Atkins, P.W.. 1999. Kimia Fisika. “Ed ke-2 Kartahadiprojo
Irma I, penerjemah; Indarto Purnomo Wahyu, editor. Jakarta: Erlangga.
Terjemahan dari: Physical Chemistry.
Darmaji. 2005. Kimia
Fiksika I. Jambi: Universitas Jambi.
Dogra, S. dan Dogra, S.K.. 2008. Kimia Fisika dan Soal-soal. Jakarta: UI-Press.
Sukardjo. 2003. Dasar-dasar
Kimia Fisika. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada.
Wahyuni, Sri. 2003. Buku Ajar Kimia Fisika 2.Semarang: UNNES.
Wahyuni, Sri.
2013. Diktat Petunjuk Praktikum Kimia
Fisika. Semarang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang.
Selasa, 26 November 2013
Laporan praktikum Kimia Fisika Penurunan Titik Beku Asam Asetat
Penurunan Titik Beku Asam Asetat
Silvia Marceliana, Khusnul
Khotimah
Lab. Kimia Fisika Jurusan
Kimia Universitas Negeri Semarang
Gedung D8 Lt 2 Sekaran
Gunungpati Semarang, Indonesia
silvia.marceliana1412@gmail.com, 085642668343
50229
Abstrak
Sifat-sifat koligatif larutan ialah sifat-sifat yang
hanya ditentukan oleh jumlah partikel dalam larutan dan tidak tergantung jenis
partikelnya. Titik beku larutan ialah temperatur pada saat larutan setimbang
dengan pelarut padatannya. Larutan akan membeku pada temperatur lebih rendah
dari pelarutnya. Tujuan dari dilakukan praktikum ini adalah menentukan besarnya
tetapan penurunan titik beku asam asetat dan menentukan berat molekul suatu zat
non elektrolit. Praktikum ini
dilakukan dengan cara mengukur suhu titik beku larutan. Larutan diberi zat
terlarut sebanyak 1,000 gram, setelah ditentukan titik bekunya larutan kemudian
dicairkan lagi, dan dan dilanjutkan penambahannya 1,000 gram hingga 6 kali.
Begitu juga pada praktikum untuk menentukan berat molekul suatu zat non
elektrolit. Besarnya tetapan penurunan titik beku diperoleh sebesar 3,6338°C/m, namun pada teori sebesar 3,9000°C/m. Dan diperoleh berat molekul dari zat X tersebut
sebesar 132,7 g/mol. Seharusnya secara teori berat molekul zat terlarut
tersebut sebesar 198,17 g/mol. Kesimpulannya semakin banyak zat yang terlarut
didalamnya maka titik beku larutannya semakin turun. Tetapan penurunan titi
beku sebesar 3,633°C/m, dan berat
molekul sebesar 132,7 g/mol.
Kata kunci: berat molekul, naftalen dalam asam
asetat, penurunan titik beku.
Abstract
Colligative
properties of solutions is that the properties are only determined by the
number of particles in solution and not on the type of particle. Freezing point
of the solution is the solution temperature at equilibrium with the solid
solvent. Solution would freeze at a lower temperature than the solvent. The
purpose of this lab is performed to determine the amount of freezing point
depression constant of acetic acid and determining the molecular weight of a
substance non electrolyte. This lab is done by measuring the freezing
temperature of the solution. Solution given solute as much as 1,000 grams, as
determined freezing point solution then thawed again, the addition is 1.000
grams and continued up to 6 times. So also in the lab to determine the
molecular weight of a substance non electrolyte . The amount of freezing point
depression constants obtained by 3.633°C/m, but the theory of 3.9000°C/m. Obtained
molecular weight the substance X at 132.7 g/mol. Should in theory molecular
weight solutes by 198,17 g/mol. The conclusion that more substances dissolved
in it then the freezing point of the solution is getting down. Freezing point
depression constant of 3.6338 °C/m, and a molecular weight of 132.7 g/mol.
Keywords :
molecular weight , the naphthalene acetic acid , lowering the freezing point .
Pendahuluan
Menurut Sukardjo (2004) sifat
koligatif larutan merupakan sifat-sifat yang hanya ditentukan oleh
jumlahpartikel dalam larutan dan tidak tergantung jenis partikelnya. Jika pada
penambahan pada zat terlarut tertentu kedalam suatu pelarut menimbukan
perubahan fisik pelarut tersebut besarnya sebanding dengan molalitas zat
terlarut yang ditambahkan, sifat fisik tersebut bisa berupa penurunan tekanan
uap, kenaikan titik didih, penurunan titik beku, dan tekanan osmosis. Perbedaan
antara sifat fisik dari pelarut dan larutan pada penurunan titik beku larutan
dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Penurunan titik beku
larutan
Pada gambar 1 dapat dilihat diagram fasa larutan yang mengalami
pergeseran yang menyebabkan terjadinya perbedaan dengan diagram fasa pelarut murninya. Larutan akan membeku jika temperatur
larutan tersebut lebuh rendah dari titik beku larutan murninya, selisih antara
titik beku larutan dengan titik beku larutan murninya disebut juga penurunan
titik beku (ΔTf). Jika zat
terlarutnya merupakan zat non elektrolit, maka penurunan titik bekunya
sebanding dengan molalitas larutan (m). Penambahan zat terlarut tertentu pada
suatu pelarut akan mempengaruhi dari sifat
koligatif lainnya karena keempat sifat koligatif tersebut saling
berkaitan.
Titik beku adalah temperatur dimana
fasa cair dari suatu larutan setimbang dengan pelarut padatnya. Larutan
mempunyai titik beku yang lebih rendah daripada titik beku pelarutnya. Atau
disebut juga dengan (ΔTf),
alat yang digunakan untuk mengukur titik beku lautan adalah Beckman (Sukardjo, 2004).
Titik beku pelarut murni lebih tinggi
dari titik beku larutan. Hal ini diakibatkan oleh sebagian partikel air dan
sebagian partikel-pertikel terlarut membentuk ikatan baru. Sehingga ketika
mmbeku, yang memiliki titik paling tinggi yaitu air akan membeku terlebih
dahulu, kemudian diikuti oleh molekul larutan.
Titik beku dan titik didih larutan
tergantung pada kesetimbangan pelarut yang berada dalam larutan dengan pelarut padatan
atau uap pelarut murni. Kesetimbangan yang lainnya adalah antara pelarut dalam
larutan dengan pelarut murni. Pada saat kesetimbangan itu terjadi, maka pula
titik beku maupun titik didihnya tercapai (Wahyuni, 2013). Setiap pelarut
memiliki harga tetapan Kf tertentu. Tetapan Kf ini
menyatakan besarnya penurunan titik beku larutan 1 molal. Menurut Sachri dan
Harun (1982) untuk asam asetat ini memeiliki harga Kf sebesar 3,9
sedangkan titik bekunya 16,7°C (pada tekanan 1 atm).
Tetapan Kf hanya bergantung pada jenis besarnya penurunan titik beku untuk
larutan 1 molal. Pada umumnya efek enurunan titik beku akan lebih besar
daripada efek kenaikan titik didih atau penurunan tekanan uap. Oleh karena itu
penurunan titik beku relatif lebih banyak digunakan dalam penentuan berat
molekul (Jupamahu, 1980).
Hukum
Roult menyatakan bahwa tekanan uap suatu komponen dalam suatu larutan senilai
dengan tekanan uap suatu larutan dikali dengan fraksi mol komponen yang menguap
dalam larutan. Meurut Roult untuk menentukan titik beku larutan yang sangat encer
berlaku :
Air murni pada tekanan 1 atm membeku
pada temperatur 0°C. Besarnya penurunan titik beku suatu larutan hanya
ditentukan oleh jumlah partikel zat terlarut. Semakin banyak partikel yang
terdapat dalam zat terlarut maka semakin besar pula titik beku suatu larutan
(Anshory,1994).
Pada percobaan permasalahan yang akan
diselesaikan adalah berapa temperatur penurunan titik beku asam asetat dan
berapa jumlah molekul suatu sampel zat non
lektrolit. Tujuan dari praktikum ini adalah menentukan besarnya tetapan
penurunan titik beku asam asetat dan menentukan berat molekul suatu zat non elektrolit.
Metode
Pada praktikum ini alat-alat yang
diperlukan dalam praktikum penurunan titik beku asam asetat adalah gelas kimia
100 mL dari pyrex, termometer alkohol, pengaduk, stopwatch, penangas es, serta statif yang digunakan untuk
enggantung termometer. Sedangkan bahan yang diperlukan pada praktikum ini
adalah asam asetat dari Merck, naftalena for
syn dari Merck, serta glukosa monohidrat for syn dari Merck yang digunakan sebagai zat X (yang ditentukan
berat molekulnya).
Langkah selanjutnya adalah sebanyak 15 mL larutan asam asetat murni
dimasukkan dimasukkan dalam penangas es untuk selanjutnya titik bekunya diukur.
Asam asetat dibiarkan hingga asam asetat mecair kembali. Langkah selanjutnya,
kedalam 1,000 gram naftalen dimasukkan kedalam larutan asam asetat dan larutan
dimasukkan kedalam penangas es untuk dilakukan pengukuran temperatur larutan
naftalen dalam asam asetat hingga titik bekunya tercapai. Selanjutnya larutan
dibiarkan dan mencair kembali. Kemudian 1,000 gram naftalen ditambahkan pada
larutan untuk untuk diukur titik bekunya, dan dilakukan berulang-ulang hingga
penambahan 1,000 gram naftalen sebanyak 6 kali. Metode dalam penentuan berat
molekul zat non elektrolit dalam hal ini adalah glukosa monohidrat tidak jauh
berbeda dengan penentuan titik beku yang menggunakan naftalena.
Pada praktikum ini variabel bebas yang digunakan adalah massa zat terlarut,
yaitu massa naftalena yang digunakan dalam penentuan tetapan titik beku asam
asetat dan massa glukosa monohidrat (zat X) untuk penentuan berat molekul zat non elektrolit. Sedangkan variabel
terikat yang digunakan adalah penurunan titik beku. Pada praktikum ini juga
digunakan tetkanan ruangan, metode praktikum, dan pelarut yang sama merupakan
variabel kontrolnya.
Sesuai dengan Hukum Roult untuk larutan encer ideal, tetapan penurunan
titik beku asam asetat dapat diperoleh dengan mengalurkan kurva dari molalitas
larutan vs penurunan titik beku larutan. Untuk menentukan berat molekul suatu
zat non elektrolt dapat digunakan
metode yang sama pula.
Hasil dan pembahasan
Naftalen merupakan hidrokarbon yang
berbentuk padatan kristal putih, berbau tajam, dan mudah terbakar. Naftalen
mempunyai rumus molekul C10H8 dan terbentuk dua cincin
benzena yang bersatu. Senyawa ini bersifat volatil,
mudah menguap walaupun bentuknya berupa padatan. Pada praktikum kali ini
naftalen digunakan sebagai zat terlarut pada pelarut asam asetat. Naftalen yang
ditambahkan pada pelarut asam asetat sebanding dengan penurunan titik beku
larutannya.
Penambahan zat terlarut dalam pelarut
akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi yang mengakibatkan semakin rendah
titik bekunya. Jumlah partikel yang lebih banyak akan membuat larutan tersebut
sukar membeku, sehingga membutuhkan suhu yang lebih rendah, dan waktu yang
lebih lama.
Setelah dilakukan praktikum yang dilakukan hasil dari penentuan titik beku
dari asam asetat terhadap naftalen, diperoleh titik beku dari asam asetat
sebesar 16,5°C. hasil tersebut dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Titik beku asam asetat pada berbagai konsentrasi zat terlarut
Massa naftalen
(g)
|
Molalitas
(m)
|
Tf
(°C)
|
ΔTf
(°C)
|
1,0179
|
0,504910714
|
14,5
|
2
|
2,0852
|
1,034325397
|
13,2
|
3,3
|
3,1394
|
1,557242063
|
10,5
|
6
|
4,2174
|
2,091964286
|
8,5
|
8
|
5,3065
|
2,63219246
|
7,0
|
9,5
|
6,3755
|
3,162450397
|
5,3
|
11,2
|
Berdasarkan
data praktikum yang telah dilakukan penambahan zat terlarut berbanding lurus
dengan penurunan titik beku. Semakin banyak zat terlarut maka titik beku
larutan akan semakin rendah daripada titik beku pelarut murni. Dalam tabel 1
terlihat titik beku larutan semakin menurun, setelah penambahan naftalen 1,000
gram maka titik beku larutan menjadi 14,5°C, penambahan
1,000 gram yang kedua titik bekunya pada 13,2°C, kemudian pada penambahan naftalen 1,000 gram yang ketiga mengalami
penurunan titik beku sebesar 10,5°C. Hal ini juga
terjadi pada penambahan naftalen 1,000 gram yang keempat, kelima dan keenam,
masing-masing penambahan naftalena mengalami penurunan titik beku yang
bertutut-turut sebesar 8,5°C; 7,0°C; dan 5,3°C. Turunnya
titik beku larutan ini sesuai dengan teori yang sudah ada. Semakin banyak zat
terlarut dalam larutan maka titik beku semakin turun, serta penurunan titik
beku akan semakin meningkat.
Harga Kf dapat diperoleh dari
praktikum yang dilakukan yaitu dengan mengukur besarnya penurunan titik beku
pada bagian penambahan konsentasi zat yang larut. Penurunan titik beku tergantung
pada konsentrasi dari zat terlarut didalamnya. Semakin turun titik beku larutan
banyak partikel dalam larutan maka titik bekunya semakin rendah sehingga
perubahannya sebanding dengan perubahan konsentrasi dari larutan setelah
mengalami penambahan zat terlarutnya. Selain jumlah partikel, zat terlarut juga
dapat mempengaruhi titik beku suatu larutan (Harnanto, 2009).
Sesuai dengan Hukum Roult yaitu
, perubahan temperatur berbanding lurus dengan perubahan
titik beku untuk konsentrasi zat terlarut, penurunan tittik beku berkaitan
dengan besarnya molalitas total dari zat yang terlarut. Menurut Reis (1999)
menyatakan bahwa semakin besar molalitas total zat terlarut, maka semakin besar
pula penurunan titik beku larutannya.
Suatu larutan yang didalamnya terdapat zat
yang tak volatil dapat menurunkan titik beku ari pelarutnya. Jika konsentrasi
zat terlarut yang ditambahkan semakin tinggi maka penurunan titik bekunya
semakin besar pula.grafik antara molalitas dan penurunan titik beku berupa
garis linear dengan gradien Kf.
Harga Kf asam asetat dapat
dilihat pada gambar 2.
Gambar 2.
Molalitas naftalen vs penurunan titik beku asam asetat
Harga
tetapan Kf yang diperoleh tidak sesuai dengan teori yang
ada. Pada praktikum diperoleh harga Kf
sebesar 3,633°C/m dengan R2 sebesar 0,990,
sedangkan pada teori besrnya Kf
3,900°C/m. Kesalahan relatifnya sekitar 6,8%,
perbedaan antara praktikum dan teori ini mungkin terjadi karena kesalah dalam
membaca skala nonius.
Kf yang diperoleh ini juga
dapat digunakan untuk menentukan berat molekul suatu zat yang dilarutkan dalam
asam asetat murni. Berat molekul zat terlarut glukosa monohidrat dapat
diperoleh dari hasil bagi antara berat zat terlarut dikali 1000 dikali harga Kf dan selanjutnya dibagi
dengan penurunan titik beku larutan dikali dengan berat pelarutnya
sendiri. Hubungan Kf dengan berat molekul ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Titik
beku asam asetat pada zat terlarut zat X
Massa zat X
(g)
|
Tf
(°C)
|
ΔTf
(°C)
|
1,0646
|
14,8
|
1,7
|
1,0910
|
12,7
|
3,8
|
1,0020
|
10,5
|
6,0
|
1,0785
|
8,9
|
7,6
|
1,0718
|
7,6
|
8,9
|
1,0925
|
7,0
|
9,5
|
Dari
data dari tabel 2 diatas dapat dilihat pada penambahan 1,0646 gram zat X, titik
beku asam asetat terjadi pada temperatur 14,8°C, selanjutnya pada penambahan 1,000 gram yang kedua titik beku larutan
terjadi pada temperatur 12,7°C. Kemudian
penambahan zat X kedalam larutan 1,000 gram yang ketiga terjadi pada 10,5°C. Pada penambahan 1,000 gram zat X yang keempat, kelima,
dan keenam titi beku larutan juga mengalami penurunan, titik beku tersebut
berturut-turut 8,9°C; 7,6°C; dan 7,0°C. Dari data
tersebut dapat kita lihat bahwa pada penambahan zat terlarut kedalam larutan
maka titik beku larutan tersebut mengalami penurunan.
Penambahan zat terlarut tersebut akan meningkatkan konsentrasi yang dapat
menyebabkan titik beku larutan akan menjadi lebih rendah. Banyaknya jumlah
partikel dalam larutan akan membuat larutan menjadi sukar membeku, sehingga
temperatur yang dibutuhkan menjadi lebih rendah dan membutuhkan waktu yang
lebih lama. Pada berat molekul suatu zat besar maka penurunan titik beku
larutannya itu menjadi rendah pada massa
zat yang sama. Hal tersebut dapat dilihat pada rumus :
Harga Kf yang digunakan diperoleh
dari perhitungan dari praktikum yang sama, hal ini disebabkan karena pelarut
yang digunakan sama, yaitu larutan asam asetat. Setelah mengetahui harga Kf dari praktikum sebelumnya maka kita
dapat menghitung berat molekul dari zat X tersebut.
Untuk ΔTf diperoleh secara langsung
sacara langsung melalui pengukuran. Sedangkan massa pelarut diperoleh dari
perkalian volume dengan massa jenisnya. Untuk massa zat terlarut dapat
diperoleh dari penimbangan saat persiapan bahan.
Banyaknya penambahan zat terlarut
kedalam pelarut akan mempengaruhi penurunan titik beku. Jika jumlah zat
terlarut semakin besar maka penurunan titik beku zat pelarut semakin tinggi,
namun titik bekunya semakin rendah. Sesuai dengan teori yang dinyatakan dalam
Hukum Roult penurunan titik beku
berbanding terbalik dengan berat molekul. Hubungan dari penurunan (ΔTf) dengan
berat molekul dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Grafik
hubungan penurunan titik beku larutan dengan berat molekul
Dari pada grafik 3 dapat dilihat
pengaruh antara penurunan titik beku dengan titik beku berat molekul dari zat
X, dan setelah dilakukan perhitungan diperoleh berat molekul dari zat X
tersebut sebesar 132,7 g/mol. Namun secara teori berat molekul zat X tersebut
sebenarnya adalah 198,17 g/mol. Berat molekul zat X tersebut sudah diketahui
zat sebenarnya. Zat tersebut adalah glukosa monohidrat.
Hasil dari praktikum belum sesuai dengan
teori. Hal ini terlihat dari berat molekul dari perhitungan dan berat molekul
menurut teori masih berbeda jauh, dengan selisih 66 g/mol. Dengan kesalahan
relatifnya sekitar 33%. Kesalah yang terjadi mungkin disebabkan kurang tepat
dalam membaca skala nonius.
Kesimpulan
Dari praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penurunan titik beku
dipengaruhi oleh zat terlarut yang ada didalamnya, semakin banyak zat yang
terlarut didalamnya maka titik beku larutannya semakin turun. Titik beku
larutan lebih rendah dari titik beku pelarut murni.
Dari data yang diperoleh dari percobaan dapat diketahui besarnya tetapan
penurunan titik beku asam asetat sebesar 3,633°C/m, dan berat molekul dari zat X tersebut adalah 132,7 g/mol.
Daftar pustaka
Anshory, Irfan. 1994. Kimia. Jakarta: Erlangga.
Harnanto, Ari. 2009. Kimia 3. Jakarta: Pusat perbukuan
Pendidikan Nasional.
Jupamahu, M.S. 1980. Kimia Fisika 1. Bandung: Departemen
Kimia ITB.
Reis. 1999. Sifat-sifat Gas dan Zat Cair. Jakarta: Gramedia.
Sachri, Soebandi dan Harun. 1982.
Buku Tabel Ilmu Fisika dan Kimia. Bandung:
Binacipta.
Sukardjo. 2002. Kimia Fisika. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Wahyuni, Sri. 2013. Kimia Fisika 2. Semarang: Kimia FMIPA
UNNES.
Langganan:
Postingan (Atom)